Jumat, 16 Desember 2016

konsep ariyah (pinjam meminjam) dalam fiqh muamalah

Pengertian ‘Ariyah
Lafazh ‘Ariyah dengan di tasydid huruf ya’-nya menurut qaul ashah itu diambil dari lafazh (عار) “aara” yang artinya pergi ketika ia telah pergi.sedangkan hakikatnya menurut arti syara’, itu membolehkan atau mempersialahkan mengambil manfaat barang yang halal untuk diambil manfaatnya dari orang yang ahli bersedekah karena Allah beserta utuhnya barang keadaan tersebut, agar kelak dekembalikan lagi kepada orang yang bersedekah karena Alla itu.
Menurut etimologis Al ‘Ariyah berarti sesuatu yang dipinjam, pergi, dan kembali pulang. Adapun menurut terminologis fiqh ada dua definisi yang berbeda pertama ulama Maliki dan Hanafi mendefiniskannya dengan pemilikan manfaat sesuatu barang tanpa ganti rugi. Kedua ulama Syafi’i dan Haambali mendefinisikan dengan kebolehan manfaat barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua deffinisi ini membawa akibat hukum yang berbeda definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga sedangkan definisi kedua tidak membolehkannya. 
Ariyyah atau ‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi (lughat) dengan beberapa macam makna, yaitu:
1.    ‘Ariyah adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara bergiliran antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan memakai artinya perkataan at tadaawul.
2.    ‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan itu diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
3.    ‘Ariyah adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar kata ‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat. 
Sedangkan pengertiannya dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini terdapat perincian beberapa madzhab :

        ·  Madzhab Maliki (Al Malikiyah)
‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu yang dipinjam. Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos
        ·  Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah)
‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara cuma-cuma. Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘Ariyah adalah “membolehkan” bukan “memberikan hak milik”. Pendapat ini tertolak dari dua segi, yaitu:
a.    Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan memberikan hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan kecuali dengan tujuan meminjam pengertian memberikan hak milik.
b.   Bahwasannya orang yang meminjam boleh meminjamkan sesuatu yang ia pinjam kepada orang lain jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda penggunaannya dengan perbedaan orang yang menggunakan baik dari segi kekuatan atau kelemahannya. Seandainya meminjamkan itu hanya membolehkan, maka orang yang meminjam tidak sah meminjamkan kepada orang lain.
      ·    Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah)
Perjanjian meminjamkan ialah membolehkan mengambil manfaat dari orang yang mempunyai keahlian melakukan derma dengan barang yang halal diambil manfaatnya dalam keadaan barangnya masih tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang melakukan kesukarelaan. Misalnya adalah Ani meminjamkan buku fiqh (halal diambil manfaatnya) kepada Lina (orang yang berkeahlian melakukan amal sukarela), maka sahlah ani untuk meminjamkan buku fiqh tersebut kepada Lina.
·         Madzhab Hambali (Al Hanabilah)
‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan ongkos.
Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah merupakan nama atas sesuati yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian ‘ariyah adalah Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.
Dasar Hukum
Adapun dasar hukum diperbolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis sebagai berikut:
 وتعا ونوا على البر والتقوى ولا تعا ونوا على الا ثم والعدوان ( الما ئدة :٢ )  
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
العَارِيَةُ مُؤَذَاةٌ

“Barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.” (H.R. Abu Daud)
عَن ابِي هُريرتَ رضيالله عنه قل:قل رسول الله صلى الله عليه وسلم : ادالاْمانة الى من أتمَنَكَ ول تخنْ منْ خَانَكَ
(روه ا اتر مز ي و ا بو دود)
Artinya : dari abu hurairah RA bahwasanyaRasulullah SAW bersabda tunaikankan atau kembalikanlah barang amanat itu kepada orang yang telah memberiakan amanat kepadamu, dan janganlah engkau menyalahi janji (berkhianant) walaupun kepada orang yang pernah menyalahi janji kepadamu (HR. aAbu daud dan Tumuzdhi)
Hukumnya meminjamkan suatu hukumnya sunnah, terkadang menjadi wajib seperti meminjamkan smaon untuk menyelamatkan orang yan sedang hanyut tenggelam dan terkadang haram meminjamkan seperti meminjamkan rumah untuk tempat maksiat.
Rukun dan Syarat Ariyah
Adapun yang menjadi rukun dan syarat ariyah adalah sebagai berikut :

1.      Adanya pihak yang meeminjamkan dengan syarat orang yang berakal, sehat serta mengerti akad, maksud dan tujuan dari perbuatan yang ia lakukan
2.      Adanya pihak yang dipinjamkan, dengan syarat orang yang berakal, sehat serta mengerti akad, maksud dan tujuan dari perbuatan yang ia lakukan. Ia berhak atas barang yang dipinjamkan, barang itu dapat dimanfaatkan sesuai syariat islam.
3.      Adanya objek yang dipinjamkan, dengan syarat :
a.    Harta yang dipinjamkan harus milik atau harta yang berada dibawah kekuasaan pihak yang meminjamkan
b.      Objek yang dipinjamkan adalah harus sesuatu yang bisa dimanfaatkan.
4.      Terjadi akad pinjam-meminjam (ijab qabul)
Berakhirnya Akad Ariyah
Ariyah berakhir disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
1.      Salah satu pihak menjadi tidak lagi cakap hokum untuk melakukan aqad ariyah.
2.      Diketahui bahwa salah satu pihak atau kedua pihak tidak tasharruf.
3.      Adanya penipuan terhadap keadaan barang
4.      Barang dikendalikan oleh yang meminjam
Macam-macam ‘Ariyah
Ditinjau dari kewenangannya, akad pinjaman meminjam (‘ariyah) pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam :
1.      ‘Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangaka waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir danmusta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
2.      ’Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait obyek yang akan dipinjamkan.Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut misalnyawaktu dan tempat mengedarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab.

Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain, berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang adalah wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya. Rasulullah SAW bersabda :
مطل الغنني ظلم (روه البخريي و مسلم)
“Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah zalim atau berbuat aniaya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman itu diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Rasulullah SAW bersabda :
فانّ من خيركم أحسنكم قضاء (روه البخريي و مسلم)
“Sesungguhnya diantara orang yang terbaik diantara kamu ialah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Meminjam pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seiring pemilik barang. Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.

Tanggung jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya kalau disebabkan karena kelalaian, contohnya pemakaian yang berlebihan. Demikian menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan Ishaq dalam hadits yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw bersabda:
على الييد ماأخذت حتي تؤدّي
 “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali karena tindakannya yang berlebihan (lalai). Rasulullah Saw bersabda  :
ليس على المستعير غير المغلّ ضمانولاالمستودع غير المغلّ ضضمان (اخرجه الدارقطنى)
 “Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”. (HR. Daruquthni)

Jadi, Hukum atas kerusakan barang tergantung pada akadnya yaitu amanah dan dhamanah. Apabila barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, si peminjam tidak diharuskan mengganti, Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka wajib menggantinya.

Selasa, 13 Desember 2016

SPEI Masa Khulur Rasyidin

SEJARAH KHULAFAURRASYIDIN
Setelah sakit dalam beberapa minggu, Nabi Muhammad Saw. wafat pada hari senin tanggal 8 Juni 632 (12 Rabiul Awal, 10 Hijriah), di Madinah. Persiapan pemakamannya dihambat oleh Umar yang melarang siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Ia berkeras bahwa Nabi tidaklah wafat melainkan sedang tidak berada dalam tubuh kasarnya, dan akan kembali sewaktu-waktu.
Abu Bakar yang kebetulan sedang berada di luar Madinah, demi mendengar kabar itu lantas bergegas kembali. Ia menjumpai Umar sedang menahan muslim yang lain dan lantas mengatakan:
“Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad
sudah mati. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak
pernah mati.”
Abu Bakar kemudian membacakan ayat dari Al-Qur’an :  
 Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasu[1]. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali-Imran [3] :144)

Umar lantas menyerah dan membiarkan persiapan penguburan dilaksanakan.
Khulafaurrasyidin merupakan gabungan dari dua kata yaitu Khulafa dan Rasyidin. Menurut bahasa adalah jamak dari kata Khalifah artinya pengganti. Sedangkan Ar-Rasyidin adalah jamak dari Ar Rasyid yang artinya orang yang mendapat petunjuk. Maka berarti para pengganti yang mendapat petunjuk.

Sejarah Pemikiran dan Fiskal Pada Masa Khulafaurrasyidin
Ø Pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar adalah gelar yang diberikan setelah masuk Islam. Nama sebelum Islam adalah Abdul Ka’bah. Nama aslinya Abdullah bin Abu Quhafah keturunan bani Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Kal Al-Quraisy. Beliau lahir pada tahun ke-2 dari tahun gajah atau dua tahun lebih muda dari Nabi Muhammad Saw.
Beliau mendapat gelar ash-shidiq atau orang jujur terpercaya karena beliau orang pertama mempercayai peristiwa perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Baitul Maqdis di Yerusalem, dilanjutkan dengan perjalann dari Baitul Maqdis ke sidrotulmuntaha dalam waktu semalam. Peristiwa tersebut dikenal dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Sebagaimana ketika pagi hari setelah malam mengaku-ngaku telah pergi ke Baitul Maqdis dalam semalam’. Beliau menjawab “ Jika ia berkata demikian, maka itu benar”
Allah pun menyebut beliau sebagai Ash-Shiddiq:    
Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar (39) : 33)

Ketika Nabi Muhammad wafat, Kaum Anshar mengadakan musyawarah di Saqifah Bani Sa’ad. Mereka membicarakan sosok pemimpin yang akan menggantikan Nabi Muhammad Saw. Mereka sepakat memilih Abu Bakar sebagai Khalifah atau pengganti Nabi Muhammad.
Ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar berkata :“Seluruh kaum Muslimin telah mengetahui bahwa hasil perdaganganku tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, sekarang aku diperkerjakan untuk mengrus kepentingan kaum muslimin.” Bakar menjadi Khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus dengan harta Baitul Mal.
Abu Bakar As-Shiddiq menjadi khalifah hanya 2 tahun 7 bulan, Abu Bakar juga banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan musyawarah dengan para sahabat yang lain, Ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui perang Riddah(perang melawan kemurtadan). Abu Bakar juga berhasil melakukan ekspansi untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan Islam.
Abu Bakar wafat sebelum usahanya selesai dilakukan, tepatnya antara waktu maghrib dan isya pada tanggal 8 Jumadil awal 13 H pada usia 63 tahun.

Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Dalam usaha Abu Bakar As-Shiddiq mensejahterakan umat Islam, Abu Bakar melaksanakan sistem ekonomi dan fiskal seperti yg dipraktikkan Rasulullah SAW. Yaitu :
1.      Perhatian terhadap keakuratan perhitungan zakat, sehingga tidak ada kekurangan ataupun kelebihan.
2.      Pembagian tanah hasil Taklukan sebagian kepada kaum muslimin sebagian lainnya tetap menjadi tanggungan negara.
3.      Pendistribusian harta Baitul Mal dengan prinsip kesamarataan. (aggregate demand dan aggregate supply).



Ø Pada Masa Umar Ibnu Al-Khattab
Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza bin Ribaah bin Abdullah bin Qarth bin Razaah bin Adiy bin Kaab. Ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Mahzum. Ia berasal dari suku Adiy, suatu suku dalam bangsa Quraisy yang terpandang mulia, megah dan berkedudukan   tinggi. Dia dilahirkan 14 tahun sesudah kelahiran Nabi.
Sebelum masuk Islam, dia adalah seorang orator yang ulung, pegulat tangguh, dan selalu diminta sebagai wakil sukunya bila menghadapi konflik dengan suku Arab yang lainnya. Terkenal sebagai orang yang sangat pemberani dalam menentang Islam, punya ketabahan dan kemauan keras, tidak mengenal bingung dan ragu.
Ia masuk Islam setelah mendengar ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh adiknya (Fatimah binti Khattab), padahal ketika itu ia hendak membunuhnya karena mengikuti ajaran Nabi. Dengan masuknya Umar kedalam Islam, maka terjawablah doa Nabi yang meminta agar Islam dikuatkan dengan salah satu dari dua Umar (Umar bin Khattab atau Amr bin Hisyam) dan sebagai suatu kemenangan yang nyata bagi Islam.
Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, beliau telah menunjuk Umar sebagai pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman, dan Tolhah bin  baidillah (Hasan, 1989:38). Masa pemerintahan Umar bin Khatab berlangsung  selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13H/634M  sampai  tahun  23H/644M.  Beliau  wafat  pada  usia  64  tahun.  Selama  masa pemerintahannya oleh Khalifah Umar dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperluas kekuasaan ke seluruh semenanjung Arab. Umar bin Khattab r.a. meninggal pada tahun 644 M karena ditikam oleh Fairuz (Abu Lukluk).
Ia meninggal pada tahun 644 M karena ditikam oleh Fairuz (Abu Lukluk), budak Mughirah bin Abu Sufyan dari perang Nahrrawain yang sebelumnya adalah bangsawan Persia. Menurut Suaib alasan pembunuhan politik pertama kali dalam sejarah Islam  adalah  adanya  rasa  syu’ubiyah  (fanatisme)  yang  berlebihan  pada  bangsa  Persia dalam dirinya.

Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
Setelah kepemimpinan Abu Bakar Al-Shiddiq r.a. sebagai Khalifah Islam yang pertama, selanjutnya kepemimpinan tersebut diamanahkan kepada Umar ibn Al-Khattab r.a. berdasarkan hasil musyawarah Abu Bakar r.a. dengan para pemuka sahabat dan keputusan tersebut diterima dengan baik oleh kaum Muslimin. Setelah diangkat sebagai khalifah, Umar menyebut dirinya sebagai Khalifah Khalifati Rasulillah (pengganti dari penggantinya Rasulullah) serta memperkenalkan istilah Amirul Mu’minin (komandan orang-orang yang beriman).
Orang-orang Barat menjuluki Umar r.a. sebagai the Saint Paul of Islam disebabkan atas keberhasilannya pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 10 tahun dalam melakukan ekspansi perluasan wilayah Islam yang meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan Romawi, serta seluruh wilayah kerajaan Persia.
Pendirian Lembaga Baitul Mal
Cikal bakal lembaga Baitul Mal yang telah dicetuskan dan difungsikan oleh Rasulullah Saw. dan diteruskan oleh Abu Bakar r.a., semakin dikembangkan fungsinya pada masa kekhalifahan Umar ibn Al-Khattab sehingga menjadi lembaga yang reguler dan permanen. Baitul Mal dengan sistem administrasi yang tertata baik dan rapih merupakan kontribusi terbesar yang diberikan Umar r.a. kepada dunia Islam.
Pembangunan institusi Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesar 500.000 dirham pada tahun 16 H.
Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal lalu memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Mal secara keseluruhan, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya. Sebagai tindak lanjutnya, didirikanlah bangunan lembaga Baitul Mal dengan Madinah sebagai pusatnya.
Secara tidak langsung, Baitul Mal berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam dan Khalifah berkuasa penuh terhadap harta Baitul Mal, namun Khalifah tidak boleh menggunakan harta Baitul Mal untuk kepentingan pribadi. Harta Baitul Mal dianggap sebagai harta kaum Muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang amanah. Bahkan, Umar r.a sendiripun walau beliau seorang Khalifah, tetapi beliau pernah meminjam sejumlah kecil uang untuk keperluan pribadinya dan mengembalikannya kembali.
Khalifah Umar r.a. membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Baitul Mal. Pejabat Baitul Mal tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat.
Dalam mendistribusikan harta Baitul Mal, Umar r.a. mendirikan beberapa departemen seperti:
a)      Departemen Pelayanan Militer
b)      Departemen Kehakiman dan Eksekutif
c)      Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam
d)      Departemen Jaminan Sosial
Khalifah Umar r.a. dalam merealisasikan jaminan sosial membentuk sistem diwan yang dipraktikkan untuk pertama kalinya tahun 20 H. Beliau menunjuk sebuah komite untuk membuat sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya. Peran negara yang turut bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah dunia.
Kebijakan Umar yang menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal tersebut mengundang reaksi dari seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam. Menurutnya, tindakan Umar akan memicu lahirnya sifat malas di kalangan para pedagang yang berakibat fatal bagi kelangsungan hidup mereka sendiri jika suatu saat pemerintah menghentikan kebijakan tersebut.
Kaum Muslimin dan para sejarawan meyakini bahwa pada dasarnya, kebijakan Umar r.a. semata-mata hanya untuk menghormati orang-orang yang telah gigih berjuang membela dan menegakkan agama Islam di masa-masa awal kehadirannya. Umar menyadari bahwa caranya tersebut keliru dan menyesalinya karena berdampak negatif terhadap strata sosial dan kehidupan masyarakat. Ia pun bertekad akan mengubah kebijakannya tersebut, akan tetapi Khalifah Umar r.a. telah tewas terbunuh sebelum rencananya berhasil terealisasikan.
a.      Kepemilikan Tanah
Dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam seiring dengan banyaknya wilayah yang berhasil ditaklukkan, baik secara peperangan maupun secara damai. Maka diperlukannya suatu sistem administrasi yang terperinci mengenai jumlah kharaj yang dibayar atau kebijakan lainnya terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa tanah tersebut dibagikan saja kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Setelah melalui musyawarah yang panjang, Umar r.a. memutuskan untuk memperlakukan tanah tersebut sebagai fai. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah dalam surah Al-Hasyr Ayat 6 :  
Artinya :
“Dan apa saja harta rampasan (fai-i)  yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Beliau tidak membagi-bagikan tanah tersebut kepada kaum Muslimin karena dikhawatirkan akan mengarah kepada praktek tuan tanah, tetapi membiarkan tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat membayar kharaj dan jizyah.
b.     Zakat
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (٤٣)
Artinya : “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku’[2].” (Q.S. Al-Baqarah : 43)
Inilah sebuah firman Allah yang mewajibkan zakat kepada umat muslimin kemudian pada masa Rasulullah Saw. jumlah kuda di Arab sangatlah sedikit, terutama kuda yang dimiliki kaum Muslimin. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki prokdutifitas maka seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat.
Pada periode selanjutnya, kegiatan beternak dan memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syiria dan di wilayah Islam lainnya. Karena maraknya perdagangan kuda, mereka menanyakan kepada Abu Ubaidah, Gubernur Syria tentang kewajiban membayar zakat kuda dan budak. Gubernur memberitahukan bahwa tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka mengusulkan kepada Khalifah agar ditetapkan zakat atas keduanya tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan. Akan tetapi mereka bersikeras ingin membayar. Akhirnya, Gubernur menulis surat kepada Khalifah dan beliau menanggapinya dengan instruksi agar Gubernur menarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya kepada fakir miskin serta budak-budak.
Di antara beberapa barang, Umar mengenakan khums zakat atas karet yang ditemukan di semenanjung Yaman dan hasil laut karena barang-barang tersebut dianggap sebagai hadiah dari Allah. Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ushr maka sarang lebah mereka dilindungi.
Menurut riwayat Abu Ubaid, Umar membedakan madu yang diperoleh dari pegunungan dan madu yang diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan adalah 1/20 untuk madu yang pertama dan 1/10 untuk madu jenis kedua.
c.      Ushr
Orang-orang Manbij adalah orang-orang harbi yang meminta izin kepada khalifah memasuki negara Muslim untuk melakukan perdagangan dengan membayar 1/10 dari nilai barang. Setelah berkonsultasi dengan beberapa sahabat yang lain, Umar r.a. memberikan izin.
Ushr dibebankan kepada suatu barang hanya sekali dalam setahun. Umar menginstruksikan para pegawainya agar tidak menarik ushr 2 kali dalam setahun walaupun barang tersebut diperbarui.

d.     Shadaqah dari Non-Muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri atas hewan ternak. Mereka merupakan suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak jizyah dan malah membayar sedekah. Walaupun demikian, kaum Muslimin sepakat bahwa apa yang didapat dari Bani Taghlib tidak untuk dibelanjakan seperti kharaj karena sedekah tersebut merupakan pengganti pajak.
Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366) : “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)”
e.      Mata Uang
Pada masa Rasulullah dan sepanjang masa pemerintahan Khulafa Urrasyidin, mata uang yang digunakan masihlah Dinar, yaitu sebuah koin emas, dan dirham, yaitu sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitsqal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grains of barley. Oleh karena itu, rasio antara satu dirham dan satu mitsqal adalah 7/10.
f.       Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan pendapatan yang diterima. Khalifah Umar r.a. mengklasifikasikan pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu :
a)      Pendapatan zakat dan ‘ushr. Didistribusikan kepada delapan ashnaf seperti yang telah ditentukan didalam Alquran.
b)      Pendapatan khums dan sedekah. Didistribusikan kepada para fakir miskin tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan.
c)      Pendapatan kharaj, fai, jizyah, ‘ushr (pajak perdagangan) dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d)      Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.

g.     Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan. Dana pensiun ini untuk angkatan bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa. Beberapa orang yang telah berjasa seperti para istri Rasulullah atau para janda dan anak-anak pejuang yang telah wafat diberi pensiun kehormatan (sharaf).
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Dalam setahun, dana pensiun dibayarkan 2 kali, sedangkan pemberian rangsum dilakukan secara bulanan. Dana tersebut didistribusikan melalui seorang arif yang masing-masing bertanggung jawab atas 10 orang penerima dana.
Angkatan bersenjata dibekali dengan peralatan yang baik dan unta untuk perjalanan panjang. Awalnya, pasukan mendirikan perkemahan dengan menggunaka pohon-pohon palem. Namun setelah itu, Umar r.a. menginstruksikan untuk membangun tempat permanen atau distrik sebagai markas militer. Pengeluaran ini termasuk kedalam pengeluaran pertahanan negara.
Khalifah Umar r.a. merupakan pemimpin pertama dalam Islam yang menetapkan gaji untuk para hakim dan membangun kantornya terpisah dari kantor eksekutif. Hakim atau qazis ditunjuk oleh Umar dan bersifat independen dan terpisah dari pemerintahan.
Khalifah Umar r.a. menetapkan perbaikan ekonomi di bidang pertanian dan perdagangan sebagi prioritas utama. Maka untuk mencapai tujuan dilakukanlah pengukuran ladang demi ladang. Hasil survei membentuk katalog autentik yang menggambarkan luas daerah yang mendeskripsikan kualitas tanah, roduksi alam, karakter, dsb. Khalifah Umar r.a. memfungsian kembali sebuah kanal di antara sungai Nil dan Laut Merah yang mempermudah pelayaran kapal-kapal yang memuat padi-padian dari Mesir berlayar ke Yanbu dan Jeddah. Khalifah Umar juga membekali para produsen atau pedagang dengan 3 prinsip utama, yaitu:
·         Prinsip Akidah
·         Prinsip Akhlak
·         Kualitas
Khalifah Umar r.a. juga memperkenalkan sistem jaga malam dan patroli serta mendirikan dan mensubsidi sekolah-sekolah dan masjid-masjid di seluruh wilayah negara.
Seperti halnya yang dilakukan Rasulullah Saw., Khalifah Umar r.a. menetapkan bahwa negara bertanggung jawab atas melunasi utang orang-orang yang menderita jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Setelah Baitul Mal dianggap cukup kuat, beliau menambahkan beberapa pengeluaran lainnya seperti memberikan pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.
Ø Pada Masa Utsman Bin Affan
Usman bin Affan memiliki nama lengkap Utsman bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Quraisy al-Quraisy, Al-Umawiy. Nama ibu beliau adalah Arwa binti Quriz Arrabi’ah. Dilahirkan pada tahun 573 M, tahun kelima setelah kelahiran Nabi Muhammad Saw. Dia berasal dari keluarga kaya raya. Sebelum masuk Islam dia dipanggil Abu Amr. Beliau memiliki sifat jujur dan rendah hati di kalangan umat Islam. Bahkan sebelum masuk Islam, beliau terkenal dengan kejujuran dan kerendahan hati. Beliau masuk Islam atas ajakan Abu Bakar, yaitu sesudah Islamnya Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haristah.
Usman bin Affan memiliki kedudukan khusus di mata Nabi Muhammad Saw. Dalam salah satu riwayat ketika Aisyah bertanya tentang sikap Nabi Muhammad Saw kepada ketiga Sahabatnya. Dimana Nabi Saw bersikap biasa kepada Abu Bakar dan Umar. Tapi ketika Utsman bin Affan datang dan masuk ke rumah, Nabi Saw bersikap lebih baik.
Utsman bin Affan terpilih menjadi khalifah setelah permusyawarahan dari tim yang telah dibentuk oleh Umar Ibnu Khattab terdiri dari 6 orang sahabat yaitu Utsman Ibnu Affan, Ali Bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair Ibnu Al-Awwam, Sa’ad Ibnu Abi Waqqas.
Beliau meninggal pada hari Jum’at tanggal 18 Dzulhijjah 35 H ketika sedang membaca Al-Qur’an. Beliau meninggal pada usia 82 tahun.
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Utsman Bin Affan
Masa pemerintahan Khalifah Usman Bin Affan yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman ibn Affan berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan. la juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariah.
Pada enam tahun pertamanya Utsman Ibnu Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar Ibnu Khattab, yaitu:
1.      Pembuatan Saluran Air.
2.      Pembangunan Jalan-Jalan.
3.      Pembentukan Organisasi Kepolisian untuk mengamankan jalur perdagangan.
4.      Pembentukan Armada laut kaum Muslimin dibawah komando Mu’awiyah.
5.      Menaikkan dana pensiun menjadi 100 dirham.
6.      Menaikkan rangsum tambahan berupa pakaian.
7.      Memperkenalkan tradisi mendistribusikan makanan di masjid untuk para fakir miskin dan musafir.
8.      Kebijakan pembagian lahan luas milik raja persia kepada individu dan hasilnya mengalami peningkatan dibanding pada masa khalifah umar, yaitu dari  9 jt dirham menjadi 50 jt dirham.
Dalam hal pengelolaan zakat Khalifah Utsman Bin Affan berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh hutang-hutangnya dan juga mengurangi zakat dari dana pensiun. Hal ini untuk pengamanan zakat dan menjauhi dari gangguan pengumpul zakat.
Pada enam tahun kedua pada masa Khalifah Utsman Ibnu Affan, tidak dapat perubahan signifikan karena berbagai kebijakan Khalifah Utsman Ibnu Affan banyak menguntungkan keluarganya dan telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam terhadap kaum Muslimin. Sehingga pemerintahanny diwarnai dengan kekacaun politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah.

Ø Pada Masa Ali ibn Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin  keempat yang dikenal sebagai orang  yang alim, cerdas dan taat beragama. Beliau  juga saudara sepupu  Nabi SAW (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang jadi menantu Nabi SAW, suami dari putri Rasulullah  yang bernama Fathimah. Fathimah adalah satu-satunya putri Rasulullah yang ada serta mempunyai keturunan. Dari pihak Fathimah inilah Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.
Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, beliau telah menunjuk Umar sebagai pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman, dan Tolhah bin  baidillah (Hasan, 1989:38). Masa pemerintahan Umar bin Khatab berlangsung  selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13H/634M  sampai  tahun  23H/644M.  Beliau  wafat  pada  usia  64  tahun.  Selama  masa pemerintahannya oleh Khalifah Umar dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperluas kekuasaan ke seluruh semenanjung Arab.

Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib r.a. adalah Khalifah keempat yang terkenal sangat sederhana. Mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi konflik dari khalifah sebelumnya, Ali harus mengelola perekonomian secara hati-hati. Ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal, bahkan beliau memberikan 5000 dirham setiap tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Salah satu upayanya yang monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, dimana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham.
Beberapa tindakan Ali r.a. antara lain adalah, memberhentikan para pejabat yang korup, membuka kembali lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang kesayangan Utsman r.a., dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Umar ibn Al-Khattab.
Pada masa pemerintahan Ali r.a. sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Ali r.a. mengeluarkan beberapa instruksi untuk melawan korupsi dan penindasan, mengontrol pasar, dan memberantas para tukang catut laba, penimbun barang, dan pasar gelap.


DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.
Indonesia, Kementrian Agama. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Kementrian Agama. 2014.
Al-Haritsi, Jaribah Bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa (Pustaka Al-kautsar Grup). 2006.
Mardani. Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah. Jakarta: Rajawali Pers. 2012
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2013



[1] Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. ialah seorang manusia yang diangkat Allah menjadi rasul. Rasul-rasul sebelumnya telah wafat. ada yang wafat karena terbunuh ada pula yang karena sakit biasa. karena itu Nabi Muhammad s.a.w. juga akan wafat seperti halnya Rasul-rasul yang terdahulu itu. di waktu berkecamuknya perang Uhud tersiarlah berita bahwa Nabi Muhammad s.a.w. mati terbunuh. berita ini mengacaukan kaum muslimin, sehingga ada yang bermaksud meminta perlindungan kepada Abu Sufyan (pemimpin kaum Quraisy). Sementara itu orang-orang munafik mengatakan bahwa kalau Nabi Muhammad itu seorang Nabi tentulah Dia tidak akan mati terbunuh. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk menenteramkan hati kaum muslimin dan membantah kata-kata orang-orang munafik itu. (Sahih Bukhari bab Jihad). Abu Bakar r.a. mengemukakan ayat ini di mana terjadi pula kegelisahan di kalangan Para sahabat di hari wafatnya Nabi Muhammad s.a.w. untuk menenteramkan Umar Ibnul Khaththab r.a. dan sahabat-sahabat yang tidak percaya tentang kewafatan Nabi itu. (Sahih Bukhari bab Ketakwaan Sahabat).

[2] Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.