Pengertian ‘Ariyah
Lafazh ‘Ariyah dengan di tasydid huruf ya’-nya menurut qaul ashah itu
diambil dari lafazh (عار) “aara” yang artinya pergi
ketika ia telah pergi.sedangkan hakikatnya menurut arti syara’, itu membolehkan
atau mempersialahkan mengambil manfaat barang yang halal untuk diambil
manfaatnya dari orang yang ahli bersedekah karena Allah beserta utuhnya barang
keadaan tersebut, agar kelak dekembalikan lagi kepada orang yang bersedekah karena
Alla itu.
Menurut etimologis Al ‘Ariyah berarti sesuatu yang dipinjam, pergi, dan
kembali pulang. Adapun menurut terminologis fiqh ada dua definisi yang berbeda
pertama ulama Maliki dan Hanafi mendefiniskannya dengan pemilikan manfaat
sesuatu barang tanpa ganti rugi. Kedua ulama Syafi’i dan Haambali
mendefinisikan dengan kebolehan manfaat barang orang lain tanpa ganti rugi.
Kedua deffinisi ini membawa akibat hukum yang berbeda definisi pertama
membolehkan peminjam meminjamkan barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga
sedangkan definisi kedua tidak membolehkannya.
Ariyyah
atau ‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi (lughat) dengan beberapa
macam makna, yaitu:
1. ‘Ariyah
adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara bergiliran antara
mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan memakai artinya
perkataan at tadaawul.
2. ‘Ariyah
adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan itu
diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
3. ‘Ariyah adalah
nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar kata ‘aara
yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat.
Sedangkan pengertiannya dalam
terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini terdapat perincian beberapa madzhab
:
· Madzhab
Maliki (Al Malikiyah)
‘Ariyah didefinisikan lafazhnya
berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu yang dipinjam. Maksudnya
adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu)
dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan hak memiliki manfaatnya
motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos
· Madzhab Hanafi (Al
Hanafiyah)
‘Ariyah adalah memberikan hak
memiliki manfaat secara cuma-cuma. Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘Ariyah
adalah “membolehkan” bukan “memberikan hak milik”. Pendapat ini tertolak
dari dua segi, yaitu:
a. Bahwa
perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan memberikan hak
milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan kecuali dengan tujuan
meminjam pengertian memberikan hak milik.
b. Bahwasannya
orang yang meminjam boleh meminjamkan sesuatu yang ia pinjam kepada orang lain
jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda penggunaannya dengan perbedaan orang
yang menggunakan baik dari segi kekuatan atau kelemahannya. Seandainya
meminjamkan itu hanya membolehkan, maka orang yang meminjam tidak sah
meminjamkan kepada orang lain.
· Madzhab Syafi’i (Asy
Syafi’iyyah)
Perjanjian meminjamkan ialah
membolehkan mengambil manfaat dari orang yang mempunyai keahlian melakukan
derma dengan barang yang halal diambil manfaatnya dalam keadaan barangnya masih
tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang melakukan kesukarelaan.
Misalnya adalah Ani meminjamkan buku fiqh (halal diambil manfaatnya) kepada
Lina (orang yang berkeahlian melakukan amal sukarela), maka sahlah ani untuk
meminjamkan buku fiqh tersebut kepada Lina.
·
Madzhab
Hambali (Al Hanabilah)
‘Ariyah adalah barang yang
dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya
untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak dengan
tanpa imbalan ongkos.
Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah
merupakan nama atas sesuati yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi,
pengertian ‘ariyah adalah Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.
Dasar
Hukum
Adapun dasar hukum diperbolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah
adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis sebagai berikut:
وتعا ونوا على البر والتقوى ولا تعا ونوا على الا ثم والعدوان ( الما ئدة :٢ )
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
العَارِيَةُ
مُؤَذَاةٌ
“Barang peminjaman adalah benda yang wajib
dikembalikan.” (H.R. Abu Daud)
عَن ابِي هُريرتَ رضيالله عنه قل:قل رسول الله صلى الله
عليه وسلم : ادالاْمانة الى من أتمَنَكَ ول تخنْ منْ خَانَكَ
(روه ا اتر مز ي و ا بو دود)
Artinya :
dari abu hurairah RA bahwasanyaRasulullah SAW bersabda tunaikankan atau
kembalikanlah barang amanat itu kepada orang yang telah memberiakan amanat
kepadamu, dan janganlah engkau menyalahi janji (berkhianant) walaupun kepada
orang yang pernah menyalahi janji kepadamu (HR. aAbu daud dan Tumuzdhi)
Hukumnya meminjamkan suatu hukumnya sunnah, terkadang menjadi wajib
seperti meminjamkan smaon untuk menyelamatkan orang yan sedang hanyut tenggelam
dan terkadang haram meminjamkan seperti meminjamkan rumah untuk tempat maksiat.
Rukun
dan Syarat Ariyah
Adapun yang
menjadi rukun dan syarat ariyah adalah sebagai berikut :
1. Adanya pihak
yang meeminjamkan dengan syarat orang yang berakal, sehat serta mengerti akad,
maksud dan tujuan dari perbuatan yang ia lakukan
2. Adanya pihak
yang dipinjamkan, dengan syarat orang yang berakal, sehat serta mengerti akad,
maksud dan tujuan dari perbuatan yang ia lakukan. Ia berhak atas barang yang
dipinjamkan, barang itu dapat dimanfaatkan sesuai syariat islam.
3. Adanya objek
yang dipinjamkan, dengan syarat :
a. Harta yang
dipinjamkan harus milik atau harta yang berada dibawah kekuasaan pihak yang
meminjamkan
b. Objek yang
dipinjamkan adalah harus sesuatu yang bisa dimanfaatkan.
4. Terjadi akad
pinjam-meminjam (ijab qabul)
Berakhirnya
Akad Ariyah
Ariyah
berakhir disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
1. Salah satu
pihak menjadi tidak lagi cakap hokum untuk melakukan aqad ariyah.
2. Diketahui
bahwa salah satu pihak atau kedua pihak tidak tasharruf.
3. Adanya
penipuan terhadap keadaan barang
4. Barang
dikendalikan oleh yang meminjam
Macam-macam ‘Ariyah
Ditinjau dari kewenangannya, akad
pinjaman meminjam (‘ariyah) pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam :
1.
‘Ariyah
muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan
batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan
jangaka waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan
pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali
mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga
untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila
menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya
syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar
batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada
perbedaan pendapat antara mu’ir danmusta’ir tentang lamanya
waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang
harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk
mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
2.
’Ariyah
mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak
dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk
memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari
pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang
sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait obyek yang akan
dipinjamkan.Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak
disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut
misalnyawaktu dan tempat mengedarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang
berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam
tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang
pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab.
Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang
meminjam sesuatu kepada orang lain, berarti peminjam memiliki utang kepada yang
berpiutang (mu’ir). Setiap utang adalah wajib dibayar sehingga berdosalah orang
yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk
perbuatan aniaya. Rasulullah SAW bersabda :
مطل الغنني ظلم (روه البخريي و مسلم)
“Orang kaya yang melalaikan
kewajiban membayar utang adalah zalim atau berbuat aniaya”. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Adapun melebihkan
bayaran dari sejumlah pinjaman itu diperbolehkan, asal saja kelebihan itu
merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan
bagi yang membayar utang. Rasulullah SAW bersabda :
فانّ من
خيركم أحسنكم قضاء (روه البخريي
و مسلم)
“Sesungguhnya diantara
orang yang terbaik diantara kamu ialah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar
utang”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Meminjam pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan
Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada
orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk
hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab
Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang
menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang
tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang
pinjaman tanpa seiring pemilik barang. Jika peminjam suatu benda meminjamkan
benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka
pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam
keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua
karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
Tanggung
jawab Peminjam
Bila peminjam telah
memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya kalau disebabkan karena kelalaian, contohnya pemakaian
yang berlebihan. Demikian menurut Ibnu
Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan Ishaq dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Samurah, Rasulullah Saw bersabda:
على الييد ماأخذت حتي تؤدّي
“Pemegang berkewajiban
menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa peminjam
tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali karena tindakannya yang
berlebihan (lalai). Rasulullah Saw bersabda :
ليس على
المستعير غير المغلّ ضمانولاالمستودع غير المغلّ ضضمان (اخرجه الدارقطنى)
“Peminjam yang tidak
berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang
tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”. (HR. Daruquthni)
Jadi, Hukum atas kerusakan barang
tergantung pada akadnya yaitu amanah dan dhamanah. Apabila barang
yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, si peminjam
tidak diharuskan mengganti, Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam
akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka wajib
menggantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar