Selasa, 13 Desember 2016

qawaid fiqhiyah muamalah


اَلْأَلْصْلُ فِى اَلْمُعَامَلَةِ اَلْإِبَاحَةِ
“Hukum asal dalam Mu’amalah adalah mubah(boleh)”

Kaidah ini menyatakan bahwasanya hukum dasar bermuamalat adalah mubah, kecuali jika ada nash yang sahih, tsabit dan tegas dhalalahnya (ketepatgunaannya sebagai dalil) yang melarang serta mengharamkannya. Jika ada,  maka nash itulah yang dipegang. Secara bahasa yang lebih mudah, maksud dari kaedah ini adalah dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
Berbeda halnya dengan ibadah, yang pada dasarnya ditetapkan hukum ibadah itu dilarang jika ada suatu nash dari Allah swt. agar manusia tidak mengada-ngada aturan dalam agama yang tidak diizinkan Allah swt. Sedangkan mua’amalat adalah urusan sesama manusia. Apabila ada selompok manusia di suatu tempat, haruslah mereka saling berinteraksi satu sama lain yaitu dengan jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, utang-piutang baik secara sederhana maupun secara berlebihan dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah swt. untuk memperbaiki, membina, meluruskan dan menetapkan kaidah-kaidah, menerangkan maksud-maksud, menjelaskan syarat-syarat sekaligus menghapuskan yang bertentangan dengannya. Sebagaimana yang telah ada pada masa jahiliyyah semua transaksi telah ada. Kemudian Islam datang meluruskan dan menghapus hal yang bertentangan seperti, menghapus riba, gharar, maisir dan segala hal  yang mengandung perzaliman dan perjudian. Islam mengakui jual beli salam sambil menetapkan syarat-syaratnya. Nabi saw. Bersabda:
“Barangsiapa melakukan jual beli pesanan, hendaklah melakukannya dengan takaran dan timbangan yang dimaklumi bersama dan batas tempo yang dimaklumi bersama pula.”
Jika seorang ulama ditanya “manakah dalil transaksi/muamalat ini diperbolehkan (mubah)?” maka bukanlah dicari dalil yang membolehkannya melainkan dalil yang mengharamkannya ataupun dalil yang sunnah yang mengandung kesamaran (Syubhat), sebagaimana yang diisyaratkan para salaf, yakni orang-orang yang dikutip Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, bahwa mereka hanya memvonis yang haram hal yang pengharamnnyya sudah diketahui.
            Dalam kaidah ini, dapat kita ambil sebuah transaksi dari semua ruang lingkup mu’amalah yaitu jual beli Salam.
Hukum Dasar Jual Beli
            Hukum dasar jual beli secara umum adalah halal dan mubah, sebagaimana dirinci Al-Qur’an dan Sunnah, maka ihwal jual-beli ada nash Al-Qur’an yang tegas-tegas menghalalkannya dan sekaligus membantah kaum Yahudi yang mengklaim bahwa riba itu sama seperti jual beli.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jula beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
            Redaksi Al-Qur’an: “padahal Allah telah menghalalkan jula beli dan mengharamkan riba” ini memberi pengertian halalnya segala jenis jual beli, baik itu jual beli Al-muqabalah (ada uang ada barang), jual beli As-sharf (pertukaran mata uang), jual beli Salam (pesanan), maupun jual beli Mutlaq (barang dahulu uang belakangan); baik secara tunai maupun kredit, baik secara nafidz (sah, berjalan yakni mengubah kepemilikan).
            Menurut Mazhab Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, mengklarifikasi firman Allah swt.
padahal Allah telah menghalalkan jula beli dan mengharamkan riba”
Katanya, “hukum dasar semua jual beli adalah mubah apabila dilakukan dengan saling sukarela antara kedua belah pihak yang boleh melakukan tindakan hukum, kecuali jual beli yang dilarang Rasulullah saw. Semua yang semakna dengan jual beli yang dilarang Rasulullah saw. itu pun diharamkan dengan izin Allah swt. dan tercakup dalam pengertian hal yang dilarang.[1]


JUAL BELI
Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan menurut pengertian fikih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain  dengan rukun dan syarat tertentu. Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu. Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik penjual.
Suatu ketika Rasulullah Muhammad SAW ditanya oleh seorang sahabat tentang pekerjaan yang paling baik. Beliau menjawab, pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya sendiri dan jual beli yang dilakukan dengan baik. Jual beli hendaknya dilakukan oleh pedagang yang mengerti ilmu fiqih. Hal ini untuk menghindari terjadinya penipuan dari ke dua belah pihak. Khalifah Umar bin Khattab, sangat memperhatikan jual beli yang terjadi di pasar. Beliau mengusir pedagang yang tidak memiliki pengetahuan ilmu fiqih karena takut jual beli yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum Islam.
Pada masa sekarang, cara melakukan jual beli mengalami perkembangan. Di pasar swalayan ataupun mall, para pembeli dapat memilih dan mengambil barang yang dibutuhkan tanpa berhadapan dengan penjual. Pernyataan penjual (ijab) diwujudkan dalam daftar harga barang atau label harga pada barang yang dijual sedangkan pernyataan pembeli (kabul) berupa tindakan pembeli membayar barang-barang yang diambilnya.

SALAM
            Salam atau juga disebut salaf adalah jual beli sesuatu dengan kriteria tertentu dengan pembayaran dan penerimaan sekarang. Fuqaha’ menyebut jual beli ini dengan istilah jual beli mahawij (keperluan). Sebab, itu merupakan penjualan barang yang barangnya tidak ada pada saat transaksi dalam keadaan mendesak  bagi kedua belah pihak. Pihak pembeli disebut Al-Muslim (pihak yang menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Musalam ‘alaih (pihak yang diserahi), barang yang diperjual belikan atau diserahkan disebut Al-musalam fihi (barang yang diserahkan), dan harga barang disebut ra’su mal al-muslim.[2]

Landasan Hukum Salam
            Jual beli salam disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’. Ibnu  berkata, “ Aku bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin hingga batas tertentu sungguh dihalalkan Allah SAW, dalam kitab-nya dan diperbolehkan.” Setelah itu, Ibnu Abbas membaca firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.(Al-Baqarah:282)
            Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw. tiba di Madinah dan mereka melakukan jual beli hasil tanaman dengan akad salam selama satu dan dua tahun lalu bersabda:
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Barang siapa melakukan jual beli dengan cara salaf, hendaklah dia melakukannya dengan takaran, timbang, dan waktu yang telah diketahui”
            Ibnu Munzir menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa akad salam hukumnya boleh. Akad ini tidak termaksud dalamlarangan Rasulullah saw. tentang seseorang yang menjual barang yang tidak dimiliki, seperti yang disebutkan dalam sabda beliau kepada Hakim bin Hizam, “janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.”
            Sebab, yang dimaksud dalam larangan ini adalah tidak boleh mejual sesuatu yang tidak bisa diserahkan karena sesuatu yang tidak bisa diserahkan artinya secara nyata tidak dimiliki. Dengan demikian, menjual sesuatu yang tidak dimiliki adalah jual beli yang mengandung tipuan dan bersifat spekulasi. Sementara itu, jual beli barang yang telah disebutkan ciri-cirinya dalam jaminan dan ada prasangka kuat dapat dipenuhi tepat waktu maka sedikit pun tidak termasuk dalam larangan diatas.[3]
Rukun dan Syarat Jual-Beli Salam
a.       Rukun
Pelaksanaan bai’ as-Salam harus memenuhi sejumlah rukun sebagai berikut[4]:
1.      Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
2.      Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
3.      Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
4.      Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
5.      Shigat adalah ijab dan qabul.
b.      Syarat
Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut:[5]
1.      Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2.      Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3.      Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam.pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4.      Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.[6]
Syarat-syarat salam ada yang terkait dengan modal dan ada yang terkait dengan barang.
1)      Syarat-syarat modal :
a.       Jenisnya diketahui.
b.      Ukurannya diketahui, dan
c.       Diserahkan di tempat transaksi.
2)      Syarat-syarat barang :
a.       Berada dalam tanggungan.
b. Disebut ciri-cirinya sehingga diketahui ukuran dan kriterianya yang membedakan dengan lainnya, dan
c.       Batas waktunya harus diketahui.
3)      Syarat Waktu Dalam Transaksi Salam
Jumhur ulama menilai waktu atau tempo dalam akad salam, yaitu salam tidak boleh dilakukan secara tunai. Ulama Syafi’iyah berpendapat, salam boleh dilakukan secara tunai, sebab jika dilakukan secara tempo dengan adanya risiko saja diperbolehkan maka apalagi dilakukan secara tunai, tentu lebih diperbolehkan.
Syaukani berpendapat bahwa yang benar adalah pendapat ulama syafi’iyah yang tidak menilai waktu karena tidak ada dalil yang menunjukan hal itu. Jadi, beribadah dalam suatu hukum tanpa adanya dalil bukanlah suatu keharusan.
Barang Tidak Disyaratkan Harus Berada Di Tangan Penjual
Dalam akad salam, penjual tidak disyaratkan memiliki barang, tetapi dia harus mengadakan barang pada waktu yang telah ditentukan. Jika barang tidak ada pada waktu yang telah ditentukan maka akad salam batal. Adapun tidak adanya barang sebelum waktu yang telah ditentukan tiba maka tidak berpengaruh apa-apa.
Jika kedua belah pihak yang mengadakan akad salam tidak menentukan tempat penyerahan barang maka hukum akad salam tetap sah, meski tidak menunjuk tempat tertentu. Sebab, masalah ini tidak dijelaskan dalam hadits.
Seandainya hal itu menjadi syarat, tentu Rasulullah saw., telah menyebutkannya, seperti halnya beliau menyebutkan takaran, timbangan, dan waktu.
Akad Salam Susu Dan Kurma
            Al-Qurthubi mengatakan, “Akad salam susu dan kurma yang sudah masak dan harus dipetik termasuk masalah di Madinah dan penduduk Madinah menyepakati hal itu. Hukum ini berdasarkan kaidah manfaat dan kemaslahatan. Pemilik kurma dan susu membutuhkan uang, sedang mereka tidak bisa menggunakan barangnya. Sementara itu, jika pemilik barang dan pihak pembeli memiliki keperluan yang sama maka keduanya diberi keringanan untuk melakukan muamalah ini dengan dianalogikakan pada ‘ariyah, asas-asas kebutuhan, dan maslahat lainnya.
Mengambil Barang Lain Sebagai Barang yang Dipesan
            Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa tidak boleh mengambil selain barang yang dipesan sebagai penggantinya saat akad salam masih berlangsung. Sebab, bisa jadi yang bersangkutan menjual utang barang yang dipesan tersebut sebelum diterima. Sementara, Imam Malik dan Ahmad membolehkan hal itu. Itulah mazhab Imam Syafi’i, dipilih oleh Qadhi Abu Ya’la dan Ibnu Taimiyah. Ibnu Qayyim menyatakan, “inilah pendapat yang tepat, sebab barang tersebut merupakan pengganti yang berada dalam tanggungan, dengan demikian penukaran tersebut boleh, sama seperti tanggungan utang dan lainnya.” [7]

Contoh Kasus:
Seseorang melakukan jual beli salam untuk memesan sebuah mobil tertentu misalnya mobil pribadi milik Ali satu-satunya. Barang yang telah ditentukan seperti ini tidak bisa dijadikan obyek dalam jual beli salam. Karena keabsahan akad jual belinya sangat tergantung pada barang yang telah ditentukan itu. Ini sangat berbeda dengan jual beli salam yang hanya menentukan barang dengan kriteria-kriteria tertentu, sehingga si penjual bebas mencarikan harus berupa pesanan yang diserahkan setelah jatuh tempo. Tidak bolehnya dengan barang terbatas ini karena barang tersebut bisa saja hilang sebelum jatuh tempo penyerahan sehingga jadilah gharar.
Tidak boleh juga dalam jual beli salam ini membatasinya dengan menyatakan produk si fulan saja atau dari kebunnya fulan saja. Kecuali bila produk perusahaan besar yang memiliki karakteristik tertentu. Seperti membeli mobel mercy seri 200 model tahun 1994 misalnya, ini diperbolehkan karena tidak dimiliki perusahaan selainnya.
Jika memungkinkan, penyerahan barang pesanan dilakukan di tempat akad berlangsung dan bila tidak memungkinkan maka harus ditentukan tempat penyerahannya dalam akad tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Sa’ad Yusuf Abu Aziz. 2013. Seri Fikih Praktis 1: Muamalah 2. Jakarta: Fatiha.
Rahmat Syafe’i. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Wahbah Al-Zahily. 2007. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Darul Fikr.
Yusuf Qardhawi. 2010. 7 Kaidah Utama Fiqh Muamalat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.



[1] Yusuf Qardhawi, 7 Kaidah Utama Fiqh Muamalat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hal. 10-22
[2] Sa’ad Yusuf Abu Aziz, Seri Fikih Praktis 1: Muamalah 2 (Jakarta:Fatiha, 2013), hal. 58
[3] Sa’ad Yusuf Abu Aziz, Seri Fikih Praktis 1: Muamalah 2 (Jakarta:Fatiha, 2013), hal. 59
 
[4] Op.Cit, Ascarya, h. 91
[5] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 33
[6] Wahbah Al-Zahily. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikri, 2007), h. 3603-3605.
[7] Sa’ad Yusuf Abu Aziz, Seri Fikih Praktis 1: Muamalah 2 (Jakarta:Fatiha, 2013), hal. 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar