اَلْأَلْصْلُ
فِى اَلْمُعَامَلَةِ اَلْإِبَاحَةِ
“Hukum asal dalam Mu’amalah adalah mubah(boleh)”
Kaidah ini menyatakan bahwasanya hukum dasar bermuamalat adalah
mubah, kecuali jika ada nash yang sahih, tsabit dan tegas dhalalahnya
(ketepatgunaannya sebagai dalil) yang melarang serta mengharamkannya. Jika
ada, maka nash itulah yang dipegang.
Secara bahasa yang lebih mudah, maksud dari kaedah ini adalah dalam setiap
muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa,
gadai, kerja sama (mudharabah dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain.
Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan,
judi, dan riba.
Berbeda halnya dengan ibadah, yang pada dasarnya ditetapkan hukum
ibadah itu dilarang jika ada suatu nash dari Allah swt. agar manusia tidak
mengada-ngada aturan dalam agama yang tidak diizinkan Allah swt. Sedangkan
mua’amalat adalah urusan sesama manusia. Apabila ada selompok manusia di suatu
tempat, haruslah mereka saling berinteraksi satu sama lain yaitu dengan
jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, utang-piutang baik secara sederhana
maupun secara berlebihan dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah swt.
untuk memperbaiki, membina, meluruskan dan menetapkan kaidah-kaidah,
menerangkan maksud-maksud, menjelaskan syarat-syarat sekaligus menghapuskan
yang bertentangan dengannya. Sebagaimana yang telah ada pada masa jahiliyyah
semua transaksi telah ada. Kemudian Islam datang meluruskan dan menghapus hal
yang bertentangan seperti, menghapus riba, gharar, maisir dan segala hal yang mengandung perzaliman dan perjudian.
Islam mengakui jual beli salam sambil menetapkan syarat-syaratnya. Nabi
saw. Bersabda:
“Barangsiapa melakukan jual beli pesanan, hendaklah melakukannya
dengan takaran dan timbangan yang dimaklumi bersama dan batas tempo yang
dimaklumi bersama pula.”
Jika seorang ulama ditanya “manakah dalil transaksi/muamalat ini
diperbolehkan (mubah)?” maka bukanlah dicari dalil yang membolehkannya
melainkan dalil yang mengharamkannya ataupun dalil yang sunnah yang mengandung
kesamaran (Syubhat), sebagaimana yang diisyaratkan para salaf, yakni
orang-orang yang dikutip Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, bahwa mereka hanya
memvonis yang haram hal yang pengharamnnyya sudah diketahui.
Dalam kaidah ini, dapat
kita ambil sebuah transaksi dari semua ruang lingkup mu’amalah yaitu jual beli Salam.
Hukum Dasar Jual Beli
Hukum dasar jual
beli secara umum adalah halal dan mubah, sebagaimana dirinci Al-Qur’an dan
Sunnah, maka ihwal jual-beli ada nash Al-Qur’an yang tegas-tegas
menghalalkannya dan sekaligus membantah kaum Yahudi yang mengklaim bahwa riba
itu sama seperti jual beli.
ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:
“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jula beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah:
275)
Redaksi Al-Qur’an:
“padahal Allah telah menghalalkan jula beli dan mengharamkan riba” ini
memberi pengertian halalnya segala jenis jual beli, baik itu jual beli Al-muqabalah
(ada uang ada barang), jual beli As-sharf (pertukaran mata uang), jual
beli Salam (pesanan), maupun jual beli Mutlaq (barang dahulu uang
belakangan); baik secara tunai maupun kredit, baik secara nafidz (sah,
berjalan yakni mengubah kepemilikan).
Menurut Mazhab
Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, mengklarifikasi firman Allah swt.
“padahal Allah telah menghalalkan jula beli dan mengharamkan
riba”
Katanya, “hukum dasar semua jual beli adalah mubah apabila
dilakukan dengan saling sukarela antara kedua belah pihak yang boleh melakukan
tindakan hukum, kecuali jual beli yang dilarang Rasulullah saw. Semua yang
semakna dengan jual beli yang dilarang Rasulullah saw. itu pun diharamkan
dengan izin Allah swt. dan tercakup dalam pengertian hal yang dilarang.[1]
JUAL BELI
Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar.
Sedangkan menurut pengertian fikih, jual beli adalah menukar suatu barang
dengan barang yang lain dengan rukun dan
syarat tertentu. Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang
diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu. Setelah jual beli dilakukan
secara sah, barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan uang yang
dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik penjual.
Suatu ketika Rasulullah Muhammad SAW ditanya oleh seorang sahabat
tentang pekerjaan yang paling baik. Beliau menjawab, pekerjaan terbaik adalah
pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya sendiri dan jual beli yang dilakukan
dengan baik. Jual beli hendaknya dilakukan oleh pedagang yang mengerti ilmu
fiqih. Hal ini untuk menghindari terjadinya penipuan dari ke dua belah pihak.
Khalifah Umar bin Khattab, sangat memperhatikan jual beli yang terjadi di
pasar. Beliau mengusir pedagang yang tidak memiliki pengetahuan ilmu fiqih
karena takut jual beli yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum Islam.
Pada masa sekarang, cara melakukan jual beli mengalami
perkembangan. Di pasar swalayan ataupun mall, para pembeli dapat memilih dan
mengambil barang yang dibutuhkan tanpa berhadapan dengan penjual. Pernyataan
penjual (ijab) diwujudkan dalam daftar harga barang atau label harga pada
barang yang dijual sedangkan pernyataan pembeli (kabul) berupa tindakan pembeli
membayar barang-barang yang diambilnya.
SALAM
Salam atau juga disebut salaf
adalah jual beli sesuatu dengan kriteria tertentu dengan pembayaran dan
penerimaan sekarang. Fuqaha’ menyebut jual beli ini dengan istilah jual beli mahawij
(keperluan). Sebab, itu merupakan penjualan barang yang barangnya tidak ada
pada saat transaksi dalam keadaan mendesak
bagi kedua belah pihak. Pihak pembeli disebut Al-Muslim (pihak yang menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Musalam ‘alaih (pihak yang diserahi),
barang yang diperjual belikan atau diserahkan disebut Al-musalam fihi (barang yang diserahkan), dan harga barang disebut ra’su mal al-muslim.[2]
Landasan Hukum Salam
Jual
beli salam disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’. Ibnu berkata, “ Aku bersaksi bahwa salaf (salam)
yang dijamin hingga batas tertentu sungguh dihalalkan Allah SAW, dalam
kitab-nya dan diperbolehkan.” Setelah itu, Ibnu Abbas membaca firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al-Baqarah:282)
Bukhari dan Muslim meriwayatkan
bahwa nabi Muhammad saw. tiba di Madinah dan mereka melakukan jual beli hasil
tanaman dengan akad salam selama satu dan dua tahun lalu bersabda:
مَنْ
أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ
مَعْلُومٍ
“Barang siapa melakukan jual beli
dengan cara salaf, hendaklah dia melakukannya dengan takaran, timbang, dan
waktu yang telah diketahui”
Ibnu Munzir menyatakan, “Para ulama
sepakat bahwa akad salam hukumnya boleh. Akad ini tidak termaksud dalamlarangan
Rasulullah saw. tentang seseorang yang menjual barang yang tidak dimiliki,
seperti yang disebutkan dalam sabda beliau kepada Hakim bin Hizam, “janganlah
engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.”
Sebab, yang dimaksud dalam larangan
ini adalah tidak boleh mejual sesuatu yang tidak bisa diserahkan karena sesuatu
yang tidak bisa diserahkan artinya secara nyata tidak dimiliki. Dengan
demikian, menjual sesuatu yang tidak dimiliki adalah jual beli yang mengandung
tipuan dan bersifat spekulasi. Sementara itu, jual beli barang yang telah
disebutkan ciri-cirinya dalam jaminan dan ada prasangka kuat dapat dipenuhi
tepat waktu maka sedikit pun tidak termasuk dalam larangan diatas.[3]
Rukun dan Syarat Jual-Beli Salam
a. Rukun
Pelaksanaan bai’ as-Salam harus
memenuhi sejumlah rukun sebagai berikut[4]:
1. Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
2. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
3. Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
4. Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
5. Shigat adalah ijab dan qabul.
b. Syarat
Syarat-syarat sahnya jual beli salam
adalah sebagai berikut:[5]
1. Pihak-pihak
yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2. Barang
yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3. Modal
atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya
ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut
harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk
menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam.pembayarannya tidak bisa dalam
bentuk pembebasan utang penjual.
4. Ijab
dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh
hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli
salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat
barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua
belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.[6]
Syarat-syarat salam ada yang terkait dengan modal dan
ada yang terkait dengan barang.
1) Syarat-syarat
modal :
a. Jenisnya
diketahui.
b. Ukurannya
diketahui, dan
c. Diserahkan
di tempat transaksi.
2) Syarat-syarat
barang :
a. Berada
dalam tanggungan.
b. Disebut
ciri-cirinya sehingga diketahui ukuran dan kriterianya yang membedakan dengan
lainnya, dan
c. Batas
waktunya harus diketahui.
3)
Syarat Waktu Dalam Transaksi Salam
Jumhur ulama menilai waktu atau tempo
dalam akad salam, yaitu salam tidak boleh dilakukan secara tunai. Ulama Syafi’iyah berpendapat, salam boleh dilakukan secara
tunai, sebab jika dilakukan secara tempo dengan adanya risiko saja diperbolehkan
maka apalagi dilakukan secara tunai, tentu lebih diperbolehkan.
Syaukani berpendapat bahwa yang benar
adalah pendapat ulama syafi’iyah yang tidak menilai waktu karena tidak ada
dalil yang menunjukan hal itu. Jadi, beribadah dalam suatu hukum tanpa adanya
dalil bukanlah suatu keharusan.
Barang Tidak Disyaratkan Harus Berada Di Tangan
Penjual
Dalam akad salam, penjual tidak disyaratkan memiliki
barang, tetapi dia harus mengadakan barang pada waktu yang telah ditentukan.
Jika barang tidak ada pada waktu yang telah ditentukan maka akad salam batal.
Adapun tidak adanya barang sebelum waktu yang telah ditentukan tiba maka tidak
berpengaruh apa-apa.
Jika kedua belah pihak yang mengadakan akad salam
tidak menentukan tempat penyerahan barang maka hukum akad salam tetap sah,
meski tidak menunjuk tempat tertentu. Sebab, masalah ini tidak dijelaskan dalam
hadits.
Seandainya hal itu menjadi syarat, tentu Rasulullah
saw., telah menyebutkannya, seperti halnya beliau menyebutkan takaran,
timbangan, dan waktu.
Akad Salam Susu Dan Kurma
Al-Qurthubi
mengatakan, “Akad salam susu dan kurma yang sudah masak dan harus dipetik
termasuk masalah di Madinah dan penduduk Madinah menyepakati hal itu. Hukum ini
berdasarkan kaidah manfaat dan kemaslahatan. Pemilik kurma dan susu membutuhkan
uang, sedang mereka tidak bisa menggunakan barangnya. Sementara itu, jika
pemilik barang dan pihak pembeli memiliki keperluan yang sama maka keduanya
diberi keringanan untuk melakukan muamalah ini dengan dianalogikakan pada
‘ariyah, asas-asas kebutuhan, dan maslahat lainnya.
Mengambil Barang Lain Sebagai Barang
yang Dipesan
Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa
tidak boleh mengambil selain barang yang dipesan sebagai penggantinya saat akad
salam masih berlangsung. Sebab, bisa jadi yang bersangkutan menjual utang
barang yang dipesan tersebut sebelum diterima. Sementara, Imam Malik dan Ahmad
membolehkan hal itu. Itulah mazhab Imam Syafi’i, dipilih oleh Qadhi Abu Ya’la
dan Ibnu Taimiyah. Ibnu Qayyim menyatakan, “inilah pendapat yang tepat, sebab barang
tersebut merupakan pengganti yang berada dalam tanggungan, dengan demikian
penukaran tersebut boleh, sama seperti tanggungan utang dan lainnya.” [7]
Contoh Kasus:
Seseorang melakukan jual beli salam untuk memesan sebuah mobil
tertentu misalnya mobil pribadi milik Ali satu-satunya. Barang yang telah
ditentukan seperti ini tidak bisa dijadikan obyek dalam jual beli salam. Karena
keabsahan akad jual belinya sangat tergantung pada barang yang telah ditentukan
itu. Ini sangat berbeda dengan jual beli salam yang hanya menentukan barang
dengan kriteria-kriteria tertentu, sehingga si penjual bebas mencarikan harus
berupa pesanan yang diserahkan setelah jatuh tempo. Tidak bolehnya dengan
barang terbatas ini karena barang tersebut bisa saja hilang sebelum jatuh tempo
penyerahan sehingga jadilah gharar.
Tidak boleh juga dalam jual beli salam ini membatasinya dengan
menyatakan produk si fulan saja atau dari kebunnya fulan saja. Kecuali bila
produk perusahaan besar yang memiliki karakteristik tertentu. Seperti membeli
mobel mercy seri 200 model tahun 1994 misalnya, ini diperbolehkan karena tidak
dimiliki perusahaan selainnya.
Jika memungkinkan, penyerahan barang pesanan dilakukan di tempat
akad berlangsung dan bila tidak memungkinkan maka harus ditentukan tempat penyerahannya
dalam akad tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Sa’ad Yusuf Abu
Aziz. 2013. Seri Fikih Praktis 1: Muamalah 2. Jakarta: Fatiha.
Rahmat Syafe’i.
2004. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Wahbah
Al-Zahily. 2007. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Darul Fikr.
Yusuf Qardhawi.
2010. 7 Kaidah Utama Fiqh Muamalat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
[1] Yusuf
Qardhawi, 7 Kaidah Utama Fiqh Muamalat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010),
hal. 10-22
[2]
Sa’ad Yusuf Abu Aziz, Seri Fikih Praktis 1: Muamalah 2 (Jakarta:Fatiha, 2013),
hal. 58
[3]
Sa’ad Yusuf Abu Aziz, Seri Fikih Praktis 1: Muamalah 2 (Jakarta:Fatiha, 2013),
hal. 59
[4]
Op.Cit, Ascarya, h. 91
[5]
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 33
[6]
Wahbah Al-Zahily. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikri,
2007), h. 3603-3605.
[7] Sa’ad
Yusuf Abu Aziz, Seri Fikih Praktis 1: Muamalah 2 (Jakarta:Fatiha, 2013), hal.
61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar